Menikmati Pilihan Tuhan
"Brummm....." begitu bunyi motor dinyalakan, dari dalam rumah terdengar teriakan anaknya " ayaaaaaaah ... tunggu! Nisa ikuuuut" " iya, ayo cepetan! " sahutnya.
Sore menjelang maghrib itu langit terlihat mendung. Awan di langit tiba-tiba menghitam. Anginpun mulai berhembus menerbangkan debu-debu di jalanan.
Sebenarnya ia sudah kecapekan setelah seharian berada di sekolah. Tempatnya mengajar memang cukup jauh. Ia sudah tujuh tahun menjadi guru di sebuah lembaga.
Sedangkan jarak minimarket dari rumahnya sekitar empat kilometer. Daripada nanti semalaman anaknya rewel minta susu, akhirnya dia tetap berangkat. " Nisa ayo! nanti keburu hujan, jadi ikut gaak?"
" iya yah, tungguuu....." sahut Anisa.
***
Sekeluar dari minimarket, gerimis lembut mulai mengguyur bumi. Mujib tak ingin membuang-buang waktu untuk segera pulang ke rumah. Jangan sampai ia kehujanan di jalan, apalagi dia tidak membawa jas hujan.
Ia pun menarik gas sepeda motornya dengan kecepatan lumayan tinggi, dengan harapan segera sampai di rumah. Tapi apes, di tengah perjalanan, hujan malah turun semakin lebat. Terpaksa dia harus mencari tempat untuk berteduh.
Di pinggir jalan dia mendapati sebuah teras pertokoan yang sudah tutup. Dia pikir dia bisa berteduh sejenak di situ. Kasihan Anisa jika harus dipaksa berbasah-basahan terguyur air hujan. Bisa-bisa nanti dia jatuh sakit.
" lho nak, masuklah sini ke dalam rumah! Kasihan putrimu nanti bisa masuk angin. Hujannya di luar sangat lebat, apalagi anginnya juga kencang." Teriak seorang nenek dari dalam rumah yang membuatnya sedikit kaget.
Udara terasa sangat dingin. Ditambah hari yang mulai gelap. Akhirnya dia pun menerima tawaran baik nenek tua tadi. Dia berpikir hujan masih lama, lebih baik dia berteduh di dalam rumah karena lebih hangat.
Rumah itu cukup luas dan bersih. Di dalamnya tinggallah nenek tadi bersama suaminya yang sudah tua serta seorang wanita paruh baya dan putranya yang berusia sekitar lima tahunan. Hanya saja ruang depan banyak berserakan mainan anak-anak.
" silakan dicicipi, cuma teh panas dan sedikit singkong rebus. " ucap nenek membuyarkan lamunannya.
Nenek tadi membawa baki berisi segelas teh hangat dan sepiring singkong. " waduh nek jadi merepotkan, makasih. "
" Gak papa, lha wong cuma ini saja kok, silahkan dimakan"
Mujib mencuil sepotong singkong dan memakannya. Ia juga menuangkan sedikit teh panas di atas lepek.
" apa gak kasihan, putrimu kau ajak berhujan-hujanan seperti itu? Dari mana tadi? " tanya si nenek.
" itu nek, tadi anak saya ini, si Nisa susunya habis, saya belikan di minimarket. Eh... pulang-pulang ternyata kehujanan. " jawab si Mujib.
" hmm..., putrinya baru satu ini ya?" Tanya nenek. Mujib mengangguk.
"Boleh saya cerita?...... dulu almarhum bapaknya Angga itu meninggalnya naudzubillah min dzalik, tersambar petir, ketika itu lagi musim panen di sawah. Kami tak bisa membayangkan betapa terguncangnya keluarga ini. Maka, saya sering sedih jika turun hujan seperti ini jika teringat dia "
" itu Angga, usianya empat tahun ketika dia menjadi seorang yatim". Ucap nenek sambil menunjuk kepada seorang bocah yang sedang menonton televisi bersama ibunya di ruang tengah. Mujib hanya terdiam mendengarkan cerita si nenek.
" Dulu saya kira Maimunah itu akan menjadi gila setelah tragedi itu. Hari-harinya lebih banyak dihabiskan untuk menunggui kuburan almarhum suaminya. Ia bercengkerama, bercerita tentang anaknya, berangan tentang rencana-rencana membangun masa depan keluarga kecilnya yang indah , menangis bahkan juga tertawa terbahak-bahak di atas pusaranya. Ujung-ujungnya pasti dia pingsan tak sadarkan diri. Maklum, perutnya selalu kosong. Mulutnya tak pernah mau menerima makanan apapun. Untung dia masih bisa disadarkan." Lanjut si nenek.
" kini harapan kami adalah ingin membesarkan Angga dengan penuh Kasih sayang. Ibunya pernah mengatakan kalau dia belum mau menikah dulu. ketakutannya adalah Angga mendapatkan seorang ayah tiri yang tidak perhatian dengannya." " jadi, saya dan kakeknya yang selama ini berusaha untuk bisa berperan menjadi ayahnya ". Sambung si nenek.
Mujib masih terdiam mendengarkan cerita dari nenek tua itu. Tak ada komentar yang keluar dari mulutnya. Dia bisa memahami betapa pentingnya keberadaan orang tua bagi anak, begitu pula sebaliknya, betapa berharganya seorang anak bagi orang tua melebihi apapun.
Sementara itu, di luar rumah hujan masih deras-deranya. Bunyi petir menggelegar memaksa orang-orang yang sedang menonton televisi untuk mematikannya.
" eh, ayo dimakan..."
"Iya nek." Jawab Mujib.
Anisa yang semenjak tadi hanya diam di pangkuan ayahnya, tiba-tiba merengek minta pulang.
" ayah ayo pulang, Anisa pingin pulang sekarang."
" lho nak, hujannya masih lebat. Tunggu sebentar lagi ya." Sahut si nenek.
" nanti kamu basah kuyup " imbuhnya.
" ayah, ayo pulang. Pokoknya sekarang " rengek Anisa.
Mujib bingung, biasanya Anisa kalau sudah meminta sesuatu pasti harus dipenuhi. Lagipula dia belum sholat magrib, padahal jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh.
"Ya sudah, ini saya carikan jas hujan, nanti silahkan dipakai dulu. " kata nenek.
" waduh ngrepotin lagi nek." Tukas Mujib.
"Gak papa udah."
" May , tolong carikan jas hujan di lemari dalam kamarnya kakek." Kata nenek.
"Ini nek, sama gendongan, biar Anisa gak basah kehujanan. Dia bisa sembunyi di balik jas hujan ayahnya. "
***
" Pak Mujib, saya bisa minta tolong fotokopikan sebentar data pengawas ini di toko ABADI di sebelah barat sana, pak?" Bu Vina menghampirinya sambil menyerahkan tiga lembar kertas.
" Baiklah." Jawab Mujib. Ia melihat jam di dinding sudah menujukkan pukul dua. Dia belum sholat dzuhur. Tiba-tiba hpnya berdering ada telepon masuk.
" Yah, kok belum pulang? ini Annisa badannya demam, panasnya semakin meninggi..." Suara istrinya terdengar gugup di ujung telepon sana.
" iya... sebentar lagi saya pulang, ini tinggal menyelesaikan sedikit. "
Ia menyalakan motornya dan berangkat ke tempat fotokopi.
Semenjak tadi malam Annisa badannya demam. Mungkin itu akibat kemarin malam yang pulang kehujanan. Pagi tadi suhu badannya meninggi.
"Bruakk...brakk...brakk...." " aduuuuh...."
Mujib terjatuh dari motor. Ia tersentak dan segera berdiri menahan rasa sakit. Orang-orang sama berlarian dan mengerumuninya. Seorang wanita menjerit histeris. Beberapa orang terdengar marah-marah. Namun pendengarannya masih samar-samar. Ia masih bingung apa yang baru saja terjadi.
Seorang bocah kecil diangkat oleh beberapa orang dinaikkan motor dan dibawa ke puskesmas.
" mas, rumahnya mana?"
" mas, sampeyan harus bertanggung jawab. "
" mas, mas, jangan coba-coba kabur lho ya."
" mas, tolong surat-surat kendaraan serahkan kemari!"
Beberapa kalimat yang dilontarkan orang-orang di kerumunan itu. Ia tersadar bahwa ia baru saja menabrak seorang bocah. Ia segera menyusul ke puskesmas.
***
Mujid terdiam lemas di luar kamar puskesmas. Di dalam sana terbaring seorang bocah tak sadarkan diri. Darah terlihat mengotori baju dan rambut anak itu. Semua orang di dalam ruangan terlihat panik. Pihak puskesmas meminta korban untuk dirujuk di rumah sakit kota. Pendarahan di kepala yang luar biasa membuat kondisinya sangat kritis.
" Anggaa......, bangun naaak. Bicaralah." Tangisan ibu yang menemani bocah tadi membuat batin Mujib teriris. Bocah yang dia tabrak tadi adalah cucunya nenek yang pernah menolongnya.
" mbak, maafkan saya... saya nanti yang akan membiayai seluruh pengobatan putranya mbak.." ucap Mujib. Wanita tadi tak menoleh sedikitpun.
Beberapa saat kemudian terlihat beberapa orang yang berdatangan. Ada seorang nenek yang membuatnya teringat saat petang hari yang lalu telah menerimanya berteduh saat kehujanan, dan juga beberapa orang temannya dari kantor.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Belum sempat bocah itu dirujuk ke rumah sakit kota, ia sudah menghembuskan nafas yang terakhir kalinya. Sang ibu menjerit histeris. Beberapa orang terlihat menenangkannya dan memintanya untuk bersabar serta memperbanyak baca istighfar.
Batin Mujib bergejolak. Ia merasa telah membunuh Angga. Seorang anak yang menjadi harapan ibu dan kakek neneknya setelah semangat itu sempat meredup. Seorang anak yang mampu menumbuhkan senyum di bibir mereka setelah senyuman itu sempat menghilang entah ke mana. Seorang anak yang apapun akan dikorbankan keluarga demi perkembangannya.
Mujib menangis telah menghancurkan kebahagiaan yang sedikit demi sedikit mereka bangun setelah tragedi kepergian ayahnya. Bocah yatim itu kini telah tiada.
Ia menyesali kenapa takdir ini harus ditulis Tuhan untuk dirinya. Ia menyesal kenapa harus naik motor dengan tergesa-gesa. Ia mengumpat terhadap bayangan- bayangan yang membuatnya tidak fokus saat menyetir motor.
***
Delapan Bulan kemudian.....
Sah!!!
Terlihat Nur Jannah, istri Mujib sambil menitikkan airmata memeluk mempelai wanita. Ya, Mujib kini menikahi Maimunah, ibunya Angga. Ia berkomitmen untuk menyambung harapan yang sempat menyala pada mereka. Nur Jannah pun menerima kehadiran teman baru di rumahnya itu dengan hati yang terbuka dan ikhlas serta berusaha menepis keraguannya.
" Anisa sini! Salim dan cium tangan ibu baru kamu..." ucap Mujib. Mereka pun foto berempat.
0 Response to "Menikmati Pilihan Tuhan"
Post a Comment