Mimpi yang tenggelam
" Sudahlah Mar, urungkan dulu niatmu untuk menjadi TKI di luar negeri. Bukankah kamu sering mendengar berita tentang kasus yang menimpa para TKI di sana? Mulai pemerkosaan, penyiksaan sampai pembunuhan? Bahkan ada juga yang bunuh diri. Aku tak ingin hal itu terjadi padamu, Mar. " pinta Yunus kepada istrinya, Maryam.
" Kamu gak usah khawatir mas. Nanti di sana sudah banyak teman-teman yang siap membantu saya. Dan tentang pemberitaan itu, nyatanya selama ini mereka semua baik-baik saja tak pernah ada yang tertimpa kasus seperti di berita. " sergah Maryam.
" Walaupun demikian, aku tetap keberatan jika kamu memutuskan untuk pergi. Tentu semua akan menjadi sulit jika nanti terjadi apa-apa. Entah padamu ataupun yang ada di sini. "
" Mas, pikiranmu terlalu sempit! Aku ingin pergi merantau tidak berniat untuk meninggalkan kampung halaman selama-lamanya. Aku ingin investasi mas, aku pergi dengan tujuan kembali membangun usaha di rumah. Kita dulu selalu berangan-angan untuk bisa meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Terlebih dari segi ekonomi. Lalu apa yang bisa kita perbuat di sini dengan ijazah yang hanya lulusan SD? "
" Tapi, yang paling aku khawatirkan nanti sebenarnya adalah akidahmu akan luntur jika berada di negeri orang. Terlebih jika majikanmu nanti adalah seorang non-muslim. "
" Alah mas.... alasanmu itu terlalu mengada-ada. Aku ini sampai kapanpun akan tetap muslim dan tentunya selalu mempertahankan keyakinan yang telah aku anut."
" Kamu seyakin itu Mar? Kamu belum tahu kerasnya hidup di perantauan yang jauh dari keluarga. "
***
Maryam berpikir keras. Hatinya seperti terbelah di antara dua pilihan berat yang ia sendiri tak ingin meninggalkan salah satunya. Di satu sisi, ia sangat ingin meninggalkan kampung halaman dan pergi merantau, tapi di sisi lain ia tak bisa menolak saran suaminya. Ia seperti dibelenggu rantai kegelisahan. Pikirannya laksana berjalan di atas titian berduri. Kalimat-kalimat suaminya selalu muncul di benaknya setiap ia berangan untuk segera berjumpa dengan teman-temannya di negeri seberang. Dunia menjadi lesu tak bersemangat tatkala dua pilihan buntu tanpa kepastian.
***
" Mar, lihatlah Fahrul! Anak tetangga kita di ujung barat gang." Ucap Yunus menghisap rokok kretek di dalam rumah.
" Itukah potret keluarga yang kamu impikan? "
" Ya nggak lah, mas." Sahut Maryam sambil menyisir rambut anaknya sehabis mandi.
" Di sana tercermin betapa uang bukan segala-galanya. Kamu tahu ibunya kan? Si Aminah yang sudah lebih dari lima belas tahun merantau di Malaysia itu nyatanya tak bisa membeli kebahagiaan dan kasih sayang dengan pundi-pundi kekayaan. "
" iya Mas iya." Sahut Maryam.
" Fahrul ini tak cukup untuk menjadi bintang kelas di sekolahnya tapi juga di kampung kita. Bukan kok karena prestasi yang bisa membuat orang tuanya bangga. Eh... anak itu malah terkenal karena kenakalannya..." lanjut Yunus yang semakin bersemangat karena semalam telah berhasil meyakinkan dan meluluhkan hati Maryam untuk mengubur impiannya merantau.
" Semua tetangga saling munggunjing tentang kenakalannya. Hari kamis kemarin, ia berkelahi dan menempeleng kepalanya Ilham. "
" Kok bisa? Bagaimana asal mulanya Mas?"
" Di sore itu ia berniat meminjam motornya Ilham, tapi Ilham tidak mau meminjamkan. Kamu tahu sendiri kan wataknya Fahrul? Seketika motornya Ilham langsung ditendang. Akhirnya terjadilah peristiwa itu. "
" terus setelah itu? "
" Ya akhirnya didamaikan oleh para warga. Sebenarnya penduduk di sini terlalu muak dengannya. Coba tebak siapa yang sebulan lalu mencuri gabahnya pak haji Mus?"
" Anak itu juga? "
" Ya siapa lagi? "
" Neneknya sudah tak berdaya memberikan nasihat. Sementara orang tuanya berada di negeri perantauan dan kurang peka terhadap moral anaknya. Bahkan untuk sekadar komunikasi pun sangat kurang. Uang berlimpah kiriman tiap bulan. Tapi pendidikannya sudah di ambang masa kritis. " Yunus menyulut lagi kretek yang ia linting sendiri.
" Kamu gak usah khawatir mas. Nanti di sana sudah banyak teman-teman yang siap membantu saya. Dan tentang pemberitaan itu, nyatanya selama ini mereka semua baik-baik saja tak pernah ada yang tertimpa kasus seperti di berita. " sergah Maryam.
" Walaupun demikian, aku tetap keberatan jika kamu memutuskan untuk pergi. Tentu semua akan menjadi sulit jika nanti terjadi apa-apa. Entah padamu ataupun yang ada di sini. "
" Mas, pikiranmu terlalu sempit! Aku ingin pergi merantau tidak berniat untuk meninggalkan kampung halaman selama-lamanya. Aku ingin investasi mas, aku pergi dengan tujuan kembali membangun usaha di rumah. Kita dulu selalu berangan-angan untuk bisa meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Terlebih dari segi ekonomi. Lalu apa yang bisa kita perbuat di sini dengan ijazah yang hanya lulusan SD? "
" Tapi, yang paling aku khawatirkan nanti sebenarnya adalah akidahmu akan luntur jika berada di negeri orang. Terlebih jika majikanmu nanti adalah seorang non-muslim. "
" Alah mas.... alasanmu itu terlalu mengada-ada. Aku ini sampai kapanpun akan tetap muslim dan tentunya selalu mempertahankan keyakinan yang telah aku anut."
" Kamu seyakin itu Mar? Kamu belum tahu kerasnya hidup di perantauan yang jauh dari keluarga. "
***
Maryam berpikir keras. Hatinya seperti terbelah di antara dua pilihan berat yang ia sendiri tak ingin meninggalkan salah satunya. Di satu sisi, ia sangat ingin meninggalkan kampung halaman dan pergi merantau, tapi di sisi lain ia tak bisa menolak saran suaminya. Ia seperti dibelenggu rantai kegelisahan. Pikirannya laksana berjalan di atas titian berduri. Kalimat-kalimat suaminya selalu muncul di benaknya setiap ia berangan untuk segera berjumpa dengan teman-temannya di negeri seberang. Dunia menjadi lesu tak bersemangat tatkala dua pilihan buntu tanpa kepastian.
***
" Mar, lihatlah Fahrul! Anak tetangga kita di ujung barat gang." Ucap Yunus menghisap rokok kretek di dalam rumah.
" Itukah potret keluarga yang kamu impikan? "
" Ya nggak lah, mas." Sahut Maryam sambil menyisir rambut anaknya sehabis mandi.
" Di sana tercermin betapa uang bukan segala-galanya. Kamu tahu ibunya kan? Si Aminah yang sudah lebih dari lima belas tahun merantau di Malaysia itu nyatanya tak bisa membeli kebahagiaan dan kasih sayang dengan pundi-pundi kekayaan. "
" iya Mas iya." Sahut Maryam.
" Fahrul ini tak cukup untuk menjadi bintang kelas di sekolahnya tapi juga di kampung kita. Bukan kok karena prestasi yang bisa membuat orang tuanya bangga. Eh... anak itu malah terkenal karena kenakalannya..." lanjut Yunus yang semakin bersemangat karena semalam telah berhasil meyakinkan dan meluluhkan hati Maryam untuk mengubur impiannya merantau.
" Semua tetangga saling munggunjing tentang kenakalannya. Hari kamis kemarin, ia berkelahi dan menempeleng kepalanya Ilham. "
" Kok bisa? Bagaimana asal mulanya Mas?"
" Di sore itu ia berniat meminjam motornya Ilham, tapi Ilham tidak mau meminjamkan. Kamu tahu sendiri kan wataknya Fahrul? Seketika motornya Ilham langsung ditendang. Akhirnya terjadilah peristiwa itu. "
" terus setelah itu? "
" Ya akhirnya didamaikan oleh para warga. Sebenarnya penduduk di sini terlalu muak dengannya. Coba tebak siapa yang sebulan lalu mencuri gabahnya pak haji Mus?"
" Anak itu juga? "
" Ya siapa lagi? "
" Neneknya sudah tak berdaya memberikan nasihat. Sementara orang tuanya berada di negeri perantauan dan kurang peka terhadap moral anaknya. Bahkan untuk sekadar komunikasi pun sangat kurang. Uang berlimpah kiriman tiap bulan. Tapi pendidikannya sudah di ambang masa kritis. " Yunus menyulut lagi kretek yang ia linting sendiri.

0 Response to "Mimpi yang tenggelam"
Post a Comment