Mengenang Setahun Kepergian Abah Moehaimin Tamam
Siapa orang di Indonesia ini yang tak mengenal sistem pendidikan di pesantren. Kita semua sepakat bahwa pesantren adalah basis dan aset terbesar yang dimiliki bangsa ini. Secara historis, pesantren erat sekali hubungannya dengan perjalanan bangsa Indonesia yang turut berjuang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah serta mempertahankannya bersama elemen bangsa yang lain.
Adalah K.H. Abdul Moehaimin Tamam yang biasa dipanggil Abah oleh para santrinya menjadi inspirasi bagi seluruh penghuni pesantren termasuk saya. Abah adalah seorang yang bisa disebut sebagai tokoh tunggal yang mendirikan pondok pesantren ASSALAM Bangilan Tuban, sehingga perjuangannya menelurkan hasil yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat sekitar saat ini.
Meskipun pondok yang didirikan beliau belum sebesar pondok pesantren modern Darussalam Gontor, pondok pesantren Tebuireng Jombang, pondok pesantren Langitan Tuban maupun pondok-pondok yang lain, namun pondok pesantren ini patut berbangga karena memiliki seorang sosok kiai yang mempunyai karakter kuat dan menjadi sentral figur di dalamnya.
Deskripsi di atas adalah salah satu alur kehidupan yang saya lewati. Dan saya sangat bersyukur menjadi seseorang yang pernah mengenyam pahit-manisnya pendidikan di pesantren. Karena kehidupan itu bukanlah seperti sebuah game yang apabila kita kalah, maka kita bisa me-reset-nya.
Sedari kecil ketika mulai masuk bangku sekolah selama sebelas tahun, saya hanya mengenyam pendidikan pada sebuah yayasan di desa, mulai RA (setingkat TK) saat saya masih berusia tujuh tahun hingga masuk MTs (setingkat SMP). Memang tak ada salahnya juga jika kita menempuh pendidikan di hanya satu yayasan dari awal hingga akhir. Toh pada hakikatnya kita belajar di manapun sama saja.
Semua mulai berubah ketika orang tua memasukkan saya ke pondok pesantren selepas lulus dari MTs. Saya, mau tak mau harus bisa hidup mandiri dan berdikari, serta membiasakan diri hidup jauh dari orang tua. Di saat orang tua teman-teman saya yang lain mengarahkan anaknya untuk masuk ke sekolah favorit di kota dan menikmati hari-hari mereka bersama keluarga.
" Mau jadi apapun nanti, yang terpenting kamu harus mendapatkan pendidikan agama yang cukup " kata orang tua saya yang tak ubahnya mampu menjadi azimat untuk memantapkan hati saya melanjutkan sekolah dan mondok di pesantren.
Pemahaman saya terhadap balai pendidikan di pesantren yang hanya mengajarkan kitab kuning dan kurang peduli terhadap pendidikan umum luntur seketika setelah saya menjadi bagian dari warga pondok pesantren. Di pondok tak hanya diajarkan bagaimana belajar mengaji saja, tapi para santri juga diberi gemblengan hidup, dituntut untuk cakap berorganisasi, dan terampil dalam segala bidang.
Banyak hal yang menjadi titik balik kehidupan saya setelah mengenal Abah. Dari sini mulai muncul gairah dan energi baru karena di pesantren sistem pengajarannya menggunakan "direct method". Cara beliau mengajarkan tentang pentingnya perjuangan hidup pun disampaikan melalui praktek nyata. Tak segan-segan beliau memberi gemprongan ( memarahi dengan nada tinggi ) jika menjumpai hal-hal yang tidak benar. Tak peduli siapapun itu orangnya.
Dari beliau saya banyak belajar tentang keyakinan. Sebagai contoh adalah sesuatu yang mustahil baginya bisa mendirikan lembaga pesantren di tengah sinisnya masyarakat terhadap beliau. Tapi goncangan demi goncangan yang menerpanya malah membuatnya semakin kokoh.
Nilai-nilai kesederhanaan diajarkan lewat gaya kehidupan beliau. Rumah mungil yang jauh dari kata mewah di tengah-tengah asrama santri menjadi bukti sahih bahwa beliau bukanlah pengejar materi. Baginya kepentingan pondok harus di atas kepentingan pribadi. Kiai yang namanya lebih terkenal daripada pondoknya akan berbahaya jika suatu saat nanti pondok itu ditinggal wafat oleh kiainya, ucap seorang kawan di suatu hari.
Ketegasan beliau pun tidak diragukan lagi. Abah tak segan-segan meminta santrinya untuk angkat koper dari pondok selama-lamanya jika yang bersangkutan terbukti melanggar sunnah pondok. Beliau tak pernah punya ketakutan jika ditinggalkan oleh murid. Padahal di waktu yang sama, sekolah sekitar sedang gencar-gencarnya berlomba memperbanyak murid. Prinsip beliau adalah " hilang satu, tumbuh seribu ". Dan terbukti murid-murid abah malah saling berdatangan.
Selain soal keyakinan, kesederhanaan dan ketegasan, masih banyak pendidikan lain yang disampaikan langsung oleh beliau melalui tindakan nyata. Keikhlasan, kemandirian, semangat kegotong-royongan dan banyak lagi yang lain.
Kini di era keterbukaan ini, di mana dunia mulai terasa mengecil karena faktor globalisasi, betapa banyak kita jumpai generasi muda yang sepertinya kehilangan jati diri. Berkubang pada ke-hedonisme-an, menjadikan sikap egois tumbuh subur di kepala mereka. Empati ke sesama pun mulai terkikis ketika prinsip "yang penting gue seneng " tumbuh bak jamur.
Maka, hari-hari yang saya habiskan di pondok selama lebih dari empat tahun itu merupakan hal yang sangat berpengaruh di kehidupan saya. Saya yang kini menjadi pengajar merasa berhutang budi kepada almamater tercinta, khususnya abah. Dan tak lupa ilmu yang saya dapatkan dari beliau akan berusaha semampunya saya sampaikan kepada anak-anak didik, supaya ilmu itu nantinya tidak hanya berhenti di saya.
0 Response to "Mengenang Setahun Kepergian Abah Moehaimin Tamam"
Post a Comment