Sebuah Catatan dari Karanganyar
Dua orang yang sedang dikerubungi anak-anak kecil itu langsung berdiri ketika sepeda motor kami sampai di pelataran bangunan. Senyum lega terlihat berkembang di bibir mereka. Setelah berjam-jam mereka menunggu, akhirnya kami sampai juga di lokasi tujuan.
Selesai bersalaman, mereka menyuruh kami duduk dan beristirahat sambil menikmati hidangan teh panas serta jajanan yang telah mereka sediakan sebelumnya. Kekhawatiran pun sempat saya tangkap dari wajah mereka karena telah lama menanti kehadiran kami dan baru datang setelah dua jam keterlambatan dari prediksi.
Perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh empat jam itu ternyata kami habiskan selama tujuh jam. Kami memang sengaja menjadikan perjalanan ini santai sambil menikmati pemandangan alam di sepanjang rute perjalanan. Setiap ada view bagus, kami berhenti untuk sekedar mengambil gambar. Banyak lokasi yang memiliki pemandangan yang bagus untuk disinggahi semisal kebun teh Jamus, air terjun Grojogan Sewu Tawangmangu dan telaga Sarangan di Magetan. Oh ya, kalau lewat sana jangan lupa mampir ziyarah di makamnya mantan presiden RI kedua, bapak Soeharto di Giribangun.
Kami duduk di teras bangunan sambil berbincang-bincang bersama mereka tentang perjalanan yang cukup melelahkan. Bangunan yang kami maksud adalah sebuah masjid. Ya, sudah lebih dari setahun ini mereka mendiami bangunan yang berada di sisi masjid dan merekalah yang menjadi pengurusnya.
Saya banyak belajar tentang perjuangan hidup dari mereka. Pakdhe Khoir dan Budhe Nikmah ini kalau boleh dikatakan adalah orang-orang yang sudah kenyang menjalani kehidupan layaknya nomaden. Tak ada yang mudah dari kehidupan berpindah-pindah seperti yang mereka alami. Tapi kondisi inilah yang membuat mereka lebih mengerti banyak tentang perjuangan hidup.
Mereka pernah merantau lebih dari sebelas tahun di pulau Kalimantan. Dimulai dari tahun 1983 hingga pulang kembali ke tanah Jawa di tahun 1994. Di tanah Banjar inilah terlahir keempat putra-putri mereka, yaitu: An'im Zamzami, Dinul Mu'awanah, Kafabih dan Fu'adatul Istiqomah.
Setelah pulang di Tuban dan menetap sekira 5 bulan di tahun 1994, akhirnya mereka berangkat lagi meninggalkan tanah Jawa. Mereka mengikuti program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah untuk diberangkatkan ke pulau Sumatra, tepatnya kota Aceh. Di samping mereka diberi tempat pemukiman, lahan dan bibit-bibit tanaman, mereka juga mendapatkan tugas tambahan yaitu sebagai guru bantu dan da'i di pemukiman para transmigran tersebut.
Di tahun 1998an, terjadi kerusuhan di negara Indonesia. Gejolak itupun juga terasa di berbagai daerah termasuk Aceh. Sehingga dengan berat hati mereka harus kembali ke pulau Jawa setelah tujuh tahun berada di sana. Berbagai tanaman yang telah mereka semai dan saatnya untuk memanen pada saat itu, semisal pohon karet dll. terpaksa harus mereka tinggalkan.
Tak ada yang perlu disesali ketika mereka harus meninggalkan apa yang telah mereka hasilkan. Tak perlu meratapi apa yang telah mereka usahakan dengan susah payah namun pada akhirnya harus dilepaskan. Toh, sehebat apapun seseorang dalam mencari rizqi, tapi kalau belum menjadi haknya pasti rizqi itu tak akan dia dapatkan. Ternyata, kepulangannya ke Jawa harus mereka syukuri setelah tiga tahun berselang sekembali dari Aceh, daerah itu diterpa bencana mahadahsyat yang bernama Tsunami di tahun 2004.
Mereka pun akhirnya mendirikan bangunan rumah di Bangilan Tuban dengan harapan bahwa di sinilah nanti akhir petualangan mereka dan mengakhiri masa tua bersama anak-anak mereka. Rumah yang tepatnya terletak di desa Sidodadi ini cukup sederhana dengan bangunan musala kecil di depannya.
Akan tetapi di akhir tahun 2015 mereka yang sebenarnya mulai menyukai tanah di Bangilan dan merasa betah hidup di situ harus mendapat godaan. Adalah sebuah panggilan dakwah dari seorang kawan yang membutuhkan tenaga pengajar untuk mengabdikan ilmu di Jawa Tengah. Akhirnya dengan berat hati kota Bangilan harus ditinggalkan untuk menghidupkan cahaya baru di Desa Genengan Kecamatan Jumantono Kabupaten Karanganyar.
* wawancara singkat dengan narasumber langsung.
Perjalanan hidup yg bergelombang
ReplyDeletepenuh cerita
ReplyDelete