Calon Pengantin
"Ya, tunggu sebentar. Ini masih mencuci piring." Kataku.
"Atau kamu pulang dulu. Nanti sekitar jam setengah sembilan ke sini lagi." Sambungku menambahi.
" iya mbak." Sahut Wati dari depan rumah.
Pagi ini aku berjanji mengantarkan Wati pergi ke pasar. Ia akan pergi belanja untuk persiapan lamaran pernikahannya yang akan dilangsungkan beberapa hari lagi. Aku adalah orang yang salalu menjadi pilihannya ketika dia butuh teman yang bisa mengantarnya pergi ke pasar. Maklum, sebagai anak yang baru lulus belajar di pondok pesantren, dia memang tak bisa mengendarai sepeda motor. Sedangkan ayahnya sudah tua, tak mungkin ia mintai bantuan untuk riwa-riwi kesana-kemari.
Ketika jam di dinding menunjukkan pukul 08.30 tepat, ia sudah berada di rumahku lagi.
" mbak Likah, sudah siap?" Tanyanya.
" sebentar, saya mau mandi dulu. Kamu kok semangat sekali. Sudah tak sabar ya ingin merasakan bagaimana saat-saat lamaran?" Jawabku sembari meluncurkan pertanyaan.
" hahaha." Wati hanya menjawab dengan tawa
Akhirnya kami pun berangkat. Di depan pasar kami menyapa pak Sohib, tetangga kami yang bekerja sebagai tukang parkir di pasar.
" oh, ini toh yang namanya Wati? Kamu yang akan menikah itu toh nduk?" Tanya pak Sohib.
" bukan, pak!" Goda Wati sambil tersenyum.
" hayo, gak baik lho berbohong. Saya ini sudah tua. Sudah tak bisa mengenali anak-anak jaman sekarang ini. Kadang anak tetangga di jalan menyapa pun, saya gak mengenali. Hehehe..."
" ya sudah pak, kami belanja dulu." Sahutku.
" oh ya, silakan!"
Di pasar, Wati memilih-milih baju yang dianggap cocok untuk digunakan salinan pas acara nanti. Sungguh semangat sekali anak itu. Aku yang sudah merasa lelah mengikutinya tak melihat raut muka kecapekan di wajahnya.
" ayo Wati, sudah capek nih kaki. Rasanya minta diistirahatkan." Pintaku.
" iya mbak, nanti kalau sudah selesai, di sana kita istirahat sepuasnya." Jawabnya.
" hmmm....."
Akhirnya selesailah belanja pada siang itu. Kami pulang mengendarai motor di tengah ramainya kendaraan di jalan raya. Sesekali ku intip Wati dari spion motor sedang asyik tersenyum sendiri memandangi hpnya. Paling-paling ia lagi wa-nan sama calon suaminya. Biarlah, mumpung lagi bahagia. Aku tak ingin mengganggunya.
Di tengah jalan motorku tergetar keras. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menjaga keseimbangan agar tidak jatuh. Alhamdulillah, motorku tak terselip di tepi jalan meski goncangannya lumayan keras. Dengan stabilnya kondisi motor aku lanjutkan lagi perjalanan.
Sejenak kemudian orang-orang berteriak lantang kepadaku.
" oi mbak turun mbak....!"
Aku kebingungan. Mereka berlarian.
" hei, temanmu terjatuh."
ASTAGHFIRULLOHAL ADZIM
INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI ROJIUN
Aku bergegas turun dan berlari ke kerumunan.
" Wati... Wati.... kamu kenapa?"
Tak ada jawaban.
" pak, pak, bagaimana ini? Wati? Tolong! Nomor hp rumah?"
" ayo segera dibawa ke puskesmas." Kata seseorang.
"Ayo cepetan"
***
Berita sudah tersebar ke rumah. Ibunya Wati shock. Ayahnya baru dikabari karena masih berada di sawah. Beberapa orang segera meluncur ke puskesmas.
Aku duduk lemas di ruangan puskesmas. Mataku sembab tak bisa mewakili pikiranku yang kacau. Kaget, cemas, sedih, gugup, menyesal, merasa bersalah dan takut bercampur aduk di kepalaku. Orang-orang berdatangan dengan kegugupan untuk mengetahui keadaan Wati.
" pasien harus dirujuk di rumah sakit kota karena di puskesmas peralatannya tidak lengkap." Ujar mas Harun, kerabat wati.
" iya, terjadi benturan keras yang menghantap bagian vital tubuhnya yaitu kepala. Jika tak segera ditangani akibatnya bisa fatal." Kata paman Maimun.
Rupanya Allah menakdirkan lain, begitu kendaraan sudah dipersiapkan untuk pemberangkatan, Wati sudah menghembuskan nafas untuk yang terakhir kalinya. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
***
Suasana di rumah duka sungguh memilukan. Para kerabat yang ada di sana tangisannya pecah. Ibunya Wati pingsan di dekapan beberapa orang, setiap kali bangundan menangis lalu pingsan lagi.
" Wati... Wati .... kenapa tooooh kamu ke pasar juga....."
" Watiii kue-kue pernikahan ini sudah siap naaaak, kenapa kamu yang tak skap dan harus pergiiii...?"
Tangisan itu tak henti-hentinya.
" nduuuuk.... nduuuuuuk.... aku sudah gak punya semangat hidup lagi nduuuuuk......"
Cucuran air mata keluarganya tak mampu membendung siapapun yang melihat untuk turut berduka sedalam-dalamnya.
***
Prosesi pemakaman dilangsungkan. Aku tak kuasa melihatnya diangkat di atas keranda dengan alunan tahlil dari para pengiring. Rupanya ini istirahat yang ingin kau nikmati sspuasmu, Wati. Kulihat calon suaminya merasa terpukul dengan kenyataan ini. Ia bahkan tak mau digantikan saat turut mengangkat keranda mayat calon istrinya.
Aku hanya bisa menangis. Tuhan, apakah ini semua salahku? Orang-orang selalu mengatan kepadaku untuk bersabar, dan ini sudah takdir Allah. Tapi aku selalu menangkap bayangan yang aneh di wajah mereka.
* diambil dari kisah nyata
"Atau kamu pulang dulu. Nanti sekitar jam setengah sembilan ke sini lagi." Sambungku menambahi.
" iya mbak." Sahut Wati dari depan rumah.
Pagi ini aku berjanji mengantarkan Wati pergi ke pasar. Ia akan pergi belanja untuk persiapan lamaran pernikahannya yang akan dilangsungkan beberapa hari lagi. Aku adalah orang yang salalu menjadi pilihannya ketika dia butuh teman yang bisa mengantarnya pergi ke pasar. Maklum, sebagai anak yang baru lulus belajar di pondok pesantren, dia memang tak bisa mengendarai sepeda motor. Sedangkan ayahnya sudah tua, tak mungkin ia mintai bantuan untuk riwa-riwi kesana-kemari.
Ketika jam di dinding menunjukkan pukul 08.30 tepat, ia sudah berada di rumahku lagi.
" mbak Likah, sudah siap?" Tanyanya.
" sebentar, saya mau mandi dulu. Kamu kok semangat sekali. Sudah tak sabar ya ingin merasakan bagaimana saat-saat lamaran?" Jawabku sembari meluncurkan pertanyaan.
" hahaha." Wati hanya menjawab dengan tawa
Akhirnya kami pun berangkat. Di depan pasar kami menyapa pak Sohib, tetangga kami yang bekerja sebagai tukang parkir di pasar.
" oh, ini toh yang namanya Wati? Kamu yang akan menikah itu toh nduk?" Tanya pak Sohib.
" bukan, pak!" Goda Wati sambil tersenyum.
" hayo, gak baik lho berbohong. Saya ini sudah tua. Sudah tak bisa mengenali anak-anak jaman sekarang ini. Kadang anak tetangga di jalan menyapa pun, saya gak mengenali. Hehehe..."
" ya sudah pak, kami belanja dulu." Sahutku.
" oh ya, silakan!"
Di pasar, Wati memilih-milih baju yang dianggap cocok untuk digunakan salinan pas acara nanti. Sungguh semangat sekali anak itu. Aku yang sudah merasa lelah mengikutinya tak melihat raut muka kecapekan di wajahnya.
" ayo Wati, sudah capek nih kaki. Rasanya minta diistirahatkan." Pintaku.
" iya mbak, nanti kalau sudah selesai, di sana kita istirahat sepuasnya." Jawabnya.
" hmmm....."
Akhirnya selesailah belanja pada siang itu. Kami pulang mengendarai motor di tengah ramainya kendaraan di jalan raya. Sesekali ku intip Wati dari spion motor sedang asyik tersenyum sendiri memandangi hpnya. Paling-paling ia lagi wa-nan sama calon suaminya. Biarlah, mumpung lagi bahagia. Aku tak ingin mengganggunya.
Di tengah jalan motorku tergetar keras. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menjaga keseimbangan agar tidak jatuh. Alhamdulillah, motorku tak terselip di tepi jalan meski goncangannya lumayan keras. Dengan stabilnya kondisi motor aku lanjutkan lagi perjalanan.
Sejenak kemudian orang-orang berteriak lantang kepadaku.
" oi mbak turun mbak....!"
Aku kebingungan. Mereka berlarian.
" hei, temanmu terjatuh."
ASTAGHFIRULLOHAL ADZIM
INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI ROJIUN
Aku bergegas turun dan berlari ke kerumunan.
" Wati... Wati.... kamu kenapa?"
Tak ada jawaban.
" pak, pak, bagaimana ini? Wati? Tolong! Nomor hp rumah?"
" ayo segera dibawa ke puskesmas." Kata seseorang.
"Ayo cepetan"
***
Berita sudah tersebar ke rumah. Ibunya Wati shock. Ayahnya baru dikabari karena masih berada di sawah. Beberapa orang segera meluncur ke puskesmas.
Aku duduk lemas di ruangan puskesmas. Mataku sembab tak bisa mewakili pikiranku yang kacau. Kaget, cemas, sedih, gugup, menyesal, merasa bersalah dan takut bercampur aduk di kepalaku. Orang-orang berdatangan dengan kegugupan untuk mengetahui keadaan Wati.
" pasien harus dirujuk di rumah sakit kota karena di puskesmas peralatannya tidak lengkap." Ujar mas Harun, kerabat wati.
" iya, terjadi benturan keras yang menghantap bagian vital tubuhnya yaitu kepala. Jika tak segera ditangani akibatnya bisa fatal." Kata paman Maimun.
Rupanya Allah menakdirkan lain, begitu kendaraan sudah dipersiapkan untuk pemberangkatan, Wati sudah menghembuskan nafas untuk yang terakhir kalinya. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
***
Suasana di rumah duka sungguh memilukan. Para kerabat yang ada di sana tangisannya pecah. Ibunya Wati pingsan di dekapan beberapa orang, setiap kali bangundan menangis lalu pingsan lagi.
" Wati... Wati .... kenapa tooooh kamu ke pasar juga....."
" Watiii kue-kue pernikahan ini sudah siap naaaak, kenapa kamu yang tak skap dan harus pergiiii...?"
Tangisan itu tak henti-hentinya.
" nduuuuk.... nduuuuuuk.... aku sudah gak punya semangat hidup lagi nduuuuuk......"
Cucuran air mata keluarganya tak mampu membendung siapapun yang melihat untuk turut berduka sedalam-dalamnya.
***
Prosesi pemakaman dilangsungkan. Aku tak kuasa melihatnya diangkat di atas keranda dengan alunan tahlil dari para pengiring. Rupanya ini istirahat yang ingin kau nikmati sspuasmu, Wati. Kulihat calon suaminya merasa terpukul dengan kenyataan ini. Ia bahkan tak mau digantikan saat turut mengangkat keranda mayat calon istrinya.
Aku hanya bisa menangis. Tuhan, apakah ini semua salahku? Orang-orang selalu mengatan kepadaku untuk bersabar, dan ini sudah takdir Allah. Tapi aku selalu menangkap bayangan yang aneh di wajah mereka.
* diambil dari kisah nyata

0 Response to "Calon Pengantin"
Post a Comment