-->

Ustadz Ali Chafidzin dan Sukoharjo


Perjalanan ke kota Sukoharjo masih menyisakan sedikit cerita yang ingin saya tuliskan di sini. Bertemu dengan ustadz Ali Chafidzin, ada sedikit banyak hal yang disampaikan kepada kami. Sambutan shohibul bait yang sangat ramah semakin mempersejuk suasana rumah yang memang sudah rindang dengan berbagai tanaman di pekarangan. Obrolan dari yang ringan sampai ke hal yang serius diiringi dengan candaan membuat waktu seakan berjalan sangat cepat.

Kami sangat intens mendengarkan ketika beliau menyatakan prihatin terhadap munculnya organisasi-organisasi islam nyeleneh yang mulai menggerogoti sebagian kota di provinsi jawa tengah, khususnya Solo dan Sukoharjo. Terlebih para penduduk yang berada di wilayah yang beliau tempati termasuk penduduk dengan pemahaman islam yang kurang, sehingga sangat rentan untuk dimasuki aliran baru yang cenderung menjerumuskan.

" Di sini, pemahaman orang terhadap islam masih lemah. Bisa dikatakan wilayah ini masih "abangan". Coba bayangkan, di daerahmu kalau ada ayam mati ketabrak motor, apa orang-orang di sana masih mau memasak dan doyan memakannya? Enggak kan? Tapi kalau di sini beda cerita, meskipun mayoritas warga sini juga muslim. Itu contoh kecil." Ujar ustadz Ali.

Yang mereka pahami tentang bangkai adalah binatang yang sudah mati membusuk. Selama belum busuk dan perut masih mau menerima, maka bagi mereka sah-sah saja diolah di dapur.

Di sini, orang-orang lebih suka mendirikan masjid daripada musala meskipun ukuran bangunan itu kecil. Penyebabnya tidak lain karena banyaknya paham yang berbeda sehingga untuk urusan shalat jum'at haruslah di tempat yang sepaham pula dengan mereka. Maka jangan heran kalau di sana kita menemukan banyak masjid di satu desa tapi tak ada musala sama sekali.

Apalagi sempat ada isu simpang siur yang menyebutkan adanya pernyataan dari sebuah majlis yang menyatakan bahwa daging anjing itu halal dimakan sebab tidak ada dalil dalam Alqur'an dan Alhadits yang mengharamkannya. Sehingga terkadang dijumpai di pinggir jalan raya warung makan dengan olahan daging tersebut. Ada yang melabeli menu makanan tersebut dengan "sate jamu" bahkan ada yang menamainya dengan "warung guk-guk"

Meskipun demikian, warga di situ jiwa sosialnya cukup tinggi. Setiap ada orang yang punya hajat, pasti seluruh penduduk kampung terutama para pemuda bahu-membahu menjadi panitia tanpa diminta. Hiburan campursari dari pemilik hajat menjadi bonus atas kerja keras mereka, tentu diselingi tari dan minum.

2 Responses to "Ustadz Ali Chafidzin dan Sukoharjo"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel