Kredit hunian di Perumahan? Ini Catatan Saya
Setahun yang lalu saya sempat ditawari seorang teman untuk ikut mengambil kredit hunian di sebuah perumahan di kawasan Jatirogo. Dengan gaya meyakinkan, dia sampaikan semua gambaran tentang kelebihan-kelebihan kredit rumah ini. Terlebih ketika dia mengerti betul bahwa saya belum memiliki rumah.
" Coba kamu bayangkan! Berapa biaya yang harus dikeluarkan jika kamu tetap berencana untuk membuat rumah sendiri. Belum nanti jika tanahnya harus beli dulu. Apalagi semakin hari harga tanah semakin melambung." ujarnya meyakinkan.
Saya lalu tiba-tiba membayangkan memiliki sebuah rumah di kawasan perumahan. Tergiur juga. Apalagi jika teringat betapa besarnya biaya yang diperlukan kalau memaksa membangun rumah sendiri. Padahal uang di tabungan masih sangat sedikit. Dengan membayar DP sekian rupiah saya sudah akan memiliki rumah, tapi dengan catatan punya cicilan bulanan.
Bak gayung bersambut, rupanya keluarga menyetujui tawaran ini. Dalam waktu yang relatif singkat, akhirnya kami mengurus semua persyaratan yang diperlukan untuk mengajukan permohonan KPR Platinum. Terlebih saat itu sedang ada promo terbatas. Bayang-bayang memiliki rumah sendiri sudah membuncah di depan mata.
Beberapa hari sebelum para calon diverifikasi oleh pihak bank, pikiran saya berubah. Saya ingin membatalkan permohonan KPR yang telah saya ajukan. Untungnya pihak developer mau mengerti dan mengembalikan uang pendaftaran.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi keputusan saya yang mungkin bagi sebagian orang menganggap saya terlalu naif.
1. Jangka waktu kredit yang panjang
Saya tak bisa membayangkan akan seperti apa bentuk saya nanti setelah lima belas tahun terpenjara oleh cicilan. Hidup dalam kurun waktu itu dijalani dengan menanggung hutang. Anak pertama saya mungkin sudah menjadi perawan dewasa setelah lima belas tahun itu berlalu.
Sebenarnya sih sudah risiko sendiri kenapa harus mengambil cicilan dengan tempo lima belas tahun, kan ada yang sepuluh tahun dan lima tahun.
Iya betul, tapi semakin pendek temponya tentu biaya, cicilannya juga semakin besar. Bagi yang punya penghasilan besar mungkin tidak masalah. Tapi, tapi yang penghasilannya mepet? Siap-siap saja hanya makan nasi berlauk garam. Hehe...
2. Tipe rumah
Banyak yang sependapat ketika saya mengatakan bahwa model perumahan yang minimalis dan modern sangat bagus. Tapi bagi orang yang terbiasa hidup di kampung dengan lingkungan tradisionalnya, hidup dalam keadaan berhimpit-himpitan semacam itu akan membuatnya terasa sesak dan sumpek. Mereka lebih memilih untuk memiliki rumah yang luas yang bisa untuk diutak-atik dengan leluasa.
Kan bisa pilih rumah yang luas seperti type 72 ke atas?
Sekali lagi saya katakan itu semua bergantung pada kekuatan dompetnya.
3. Kultur masyarakat yang belum kuat.
Saya teringat cerita kawan yang tinggal di perumahan. Dalam satu deret rumah yang sejajar dengannya, hanya ada tiga rumah yang diisi oleh orang "benar". Biasanya rumah di sana dijadikan semacam pembuangan bagi anggota keluarga yang memiliki kelainan fisik. Sebagian lagi ada yang menjadikannya sebagai tempat persembunyian para istri muda orang tajir. Istri simpanan ini diberikan fasilitas di sana sehingga istri tua yang di rumah asalnya tak mencium gelagat busuk suaminya. Seminggu sekali atau sesempatnya "suami" itu pulang menjenguk.
Belum lagi banyaknya rumah yang dibiarkan kosong tak berpenghuni karena kredit nasabahnya macet. Umumnya rumah-rumah itu kumuh dan rusak serta memberikan kesan berhantu karena tak ada yang mengurus.
Namun saya tegaskan, belum tentu semua perumahan seperti itu. Mungkin itu hanya perumahan yang manajemennya tak berjalan dengan baik.
4. Adanya developer yang nakal
Tak sedikit kita jumpai rumah yang belum ada dua tahun berjalan, eh ternyata bangunannya banyak yang keropos dan rusak. Hal itu terjadi disebabkan karena pihak developer ketika mengontruksi bangunan hanya asal-asalan. Tidak menggunakan komposisi yang benar, asal target tercapai. Sehingga yang dirugikan adalah pihak pengguna.
Bahkan ada juga developer nakal yang mencari konsumennya tidak memperhatikan prosedur yang ada. Sehingga mereka tak lolos verifikasi oleh pihak bank yang memberikan kredit padahal sejumlah uang pendaftaran atau tanda jadi sudah diserahkan. Dan uang itu tentu tidak bisa diminta kembali. Siapa yang diuntungkan?
" Coba kamu bayangkan! Berapa biaya yang harus dikeluarkan jika kamu tetap berencana untuk membuat rumah sendiri. Belum nanti jika tanahnya harus beli dulu. Apalagi semakin hari harga tanah semakin melambung." ujarnya meyakinkan.
Saya lalu tiba-tiba membayangkan memiliki sebuah rumah di kawasan perumahan. Tergiur juga. Apalagi jika teringat betapa besarnya biaya yang diperlukan kalau memaksa membangun rumah sendiri. Padahal uang di tabungan masih sangat sedikit. Dengan membayar DP sekian rupiah saya sudah akan memiliki rumah, tapi dengan catatan punya cicilan bulanan.
Bak gayung bersambut, rupanya keluarga menyetujui tawaran ini. Dalam waktu yang relatif singkat, akhirnya kami mengurus semua persyaratan yang diperlukan untuk mengajukan permohonan KPR Platinum. Terlebih saat itu sedang ada promo terbatas. Bayang-bayang memiliki rumah sendiri sudah membuncah di depan mata.
Beberapa hari sebelum para calon diverifikasi oleh pihak bank, pikiran saya berubah. Saya ingin membatalkan permohonan KPR yang telah saya ajukan. Untungnya pihak developer mau mengerti dan mengembalikan uang pendaftaran.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi keputusan saya yang mungkin bagi sebagian orang menganggap saya terlalu naif.
1. Jangka waktu kredit yang panjang
Saya tak bisa membayangkan akan seperti apa bentuk saya nanti setelah lima belas tahun terpenjara oleh cicilan. Hidup dalam kurun waktu itu dijalani dengan menanggung hutang. Anak pertama saya mungkin sudah menjadi perawan dewasa setelah lima belas tahun itu berlalu.
Sebenarnya sih sudah risiko sendiri kenapa harus mengambil cicilan dengan tempo lima belas tahun, kan ada yang sepuluh tahun dan lima tahun.
Iya betul, tapi semakin pendek temponya tentu biaya, cicilannya juga semakin besar. Bagi yang punya penghasilan besar mungkin tidak masalah. Tapi, tapi yang penghasilannya mepet? Siap-siap saja hanya makan nasi berlauk garam. Hehe...
2. Tipe rumah
Banyak yang sependapat ketika saya mengatakan bahwa model perumahan yang minimalis dan modern sangat bagus. Tapi bagi orang yang terbiasa hidup di kampung dengan lingkungan tradisionalnya, hidup dalam keadaan berhimpit-himpitan semacam itu akan membuatnya terasa sesak dan sumpek. Mereka lebih memilih untuk memiliki rumah yang luas yang bisa untuk diutak-atik dengan leluasa.
Kan bisa pilih rumah yang luas seperti type 72 ke atas?
Sekali lagi saya katakan itu semua bergantung pada kekuatan dompetnya.
3. Kultur masyarakat yang belum kuat.
Saya teringat cerita kawan yang tinggal di perumahan. Dalam satu deret rumah yang sejajar dengannya, hanya ada tiga rumah yang diisi oleh orang "benar". Biasanya rumah di sana dijadikan semacam pembuangan bagi anggota keluarga yang memiliki kelainan fisik. Sebagian lagi ada yang menjadikannya sebagai tempat persembunyian para istri muda orang tajir. Istri simpanan ini diberikan fasilitas di sana sehingga istri tua yang di rumah asalnya tak mencium gelagat busuk suaminya. Seminggu sekali atau sesempatnya "suami" itu pulang menjenguk.
Belum lagi banyaknya rumah yang dibiarkan kosong tak berpenghuni karena kredit nasabahnya macet. Umumnya rumah-rumah itu kumuh dan rusak serta memberikan kesan berhantu karena tak ada yang mengurus.
Namun saya tegaskan, belum tentu semua perumahan seperti itu. Mungkin itu hanya perumahan yang manajemennya tak berjalan dengan baik.
4. Adanya developer yang nakal
Tak sedikit kita jumpai rumah yang belum ada dua tahun berjalan, eh ternyata bangunannya banyak yang keropos dan rusak. Hal itu terjadi disebabkan karena pihak developer ketika mengontruksi bangunan hanya asal-asalan. Tidak menggunakan komposisi yang benar, asal target tercapai. Sehingga yang dirugikan adalah pihak pengguna.
Bahkan ada juga developer nakal yang mencari konsumennya tidak memperhatikan prosedur yang ada. Sehingga mereka tak lolos verifikasi oleh pihak bank yang memberikan kredit padahal sejumlah uang pendaftaran atau tanda jadi sudah diserahkan. Dan uang itu tentu tidak bisa diminta kembali. Siapa yang diuntungkan?
begitu ya jadinya.....
ReplyDelete